Cerita Lain dari Garebeg Syawal 1444 H, Ada Pasukan Penari dalam Salah Satu Bregada
Gunungan Estri berhenti sejenak di Sitihinggil (dok. pribadi) |
Meski sering menyaksikan Upacara Garebeg yang diadakan tiga kali dalam setahun oleh Keraton Yogyakarta, rasanya tak pernah bosan. Setiap menonton selalu ada kisah tersendiri. Begitu pun sewaktu Garebeg Sawal Ehe 1956 (Syawal 1444 Hijriah) lalu. Setelah tiga tahun pembagian gunungan dilakukan terbatas di dalam keraton saja, akhirnya gunungan sebanyak tujuh buah kembali diarak dengan diiringi 10 bregada Keraton Yogyakarta serta dua bregada Kadipaten Pakualaman, kemudian diperebutkan masyarakat.
Tujuh buah gunungan tersebut, di antaranya adalah tiga Gunungan Kakung yang masing-masing dibawa ke Masjid Gedhe Keraton Yogyakarta, Kompleks Kepatihan atau Kantor Gubernur DIY, serta Pura Pakualaman. Sedangkan empat gunungan lainnya ialah Gunungan Estri, Gunungan Dharat, Gunungan Pawuhan, dan Gunungan Gepak. Keempatnya dibawa ke Masjid Gedhe. Sebelum diperebutkan masyarakat, gunungan-gunungan didoakan terlebih dahulu oleh abdi dalem pengulon yang bertugas mengurusi hal-hal keagamaan di luar tembok keraton.
Tiga Gunungan Kakung dan Gunungan Estri di Bangsal Pancaniti (dok. pribadi) |
Dalam tulisan ini, aku tak akan membagikan cerita tentang apa itu garebeg, apa itu gunungan dan bagaimana suasana saat dirayah masyarakat. Selain tak ikut menyaksikan hingga Masjid Gedhe, sudah banyak juga artikel atau berita yang menuliskannya. Aku sekadar ingin bercerita mengenai sisi lain dari Garebeg Sawal yang dihelat pada 1 Syawal 1444 Hijriah bertepatan dengan 22 April 2023 kemarin.
Rute Baru Iring-Iringan Bregada Prajurit
Berbagai dinamika selama pandemi mengubah beberapa hal terkait pelaksanaan Upacara Garebeg. Salah satunya, dulu markas prajurit berada di Pratjimasana (barat Pagelaran Keraton), kini seiring dengan direhabilitasinya Kompleks Kamandungan Kidul, Tepas Keprajuritan dipindah di lokasi tersebut.
Para prajurit di Kamandungan Kidul, sebelum memulai bertugas (dok. IG @kratonjogja) |
Dengan perubahan itu, rute iring-iringan prajurit pun ikut berubah. Berawal dari Kamandungan Kidul, Kamagangan, Kompleks Kedaton (tidak untuk umum), Kamandungan Utara atau Keben, Sitihinggil, hingga Pagelaran Keraton.
Kala Alun-Alun Utara belum berpagar, delapan bregada akan berbaris membentuk pagar betis di sana hingga gunungan keluar, dan hanya Bregada Surakarsa serta Bregada Bugis yang mengantar gunungan sampai lokasi perayahan. Pada garebeg kemarin, semua bregada turut hingga depan Masjid Gedhe, kecuali Bregada Bugis yang mengawal gunungan ke Kepatihan. Tembakan salvo yang menandai tibanya gunungan pun dilakukan dari depan gerbang masjid.
Rute baru antara Kamandungan Kidul dengan Kamagangan (dok. IG @kratonjogja) |
Biasanya, begitu gunungan diangkat dari Bangsal Pancaniti melewati Sitihinggil dan Pagelaran, orang-orang lantas berlarian ke Masjid Gedhe untuk siap-siap berebut gunungan yang dibawa ke sana. Namun, aku justru menuju Pratjimasana, menanti pulangnya prajurit selepas bertugas mengawal gunungan. Karena Tepas Keprajuritan pindah ke Kamandungan Kidul, kali ini para prajurit pun kembalinya ke pelataran tersebut, yang sangat dekat dari rumah. Senang sekali, aku pulangnya tinggal mengedipkan mata.
Ketimbang Merayah Gunungan, Aku Lebih Antusias pada Bregada Prajurit
Tiap kali menonton garebeg, tujuan utamaku adalah menikmati iring-iringan prajurit beserta irama gendhing yang dimainkan oleh masing-masing bregada. Dhaeng, Bugis, dan Ketanggung merupakan tiga bregada favoritku.
Tambur, ketipung, dan bende milik Bregada Bugis (dok. pribadi) |
Bahkan, pada Dhaeng serta Bugis ada ketipung dan pui-pui (terompet tradisional Sulawesi Selatan). Kok ada alat musik tradisional Sulawesi Selatan segala? Sesuai namanya, konon Prajurit Bugis berasal dari suku Bugis, sedangkan Prajurit Dhaeng berasal dari Makassar. Cukup masuk akal, mengapa kemudian ada pui-pui dalam dua bregada tersebut, walaupun bentuknya sudah dimodifikasi.
Seorang prajurit Dhaeng meniup pui-pui (dok. IG @kratonjogja) |
Ketika para prajurit kembali ke markas dengan melewati Regol Gadhung Mlati, aku berhasil merekam Bregada Dhaeng dan Bregada Ketanggung. Bregada Bugis karena bertugas mengawal gunungan hingga Kepatihan, maka kembalinya menggunakan bus.
Aku juga sempat merekam Bregada Nyutra serta Bregada Wirabraja. Keduanya menjadi favoritku pada masa kecil. Pakaian mereka yang gonjreng mudah menyita perhatian, terutama anak kecil. Begitulah, aku dulu sangat menyukai Bregada Nyutra, karena selain berwarna-warni, bentuk pakaiannya juga unik, jauh berbeda dengan sembilan bregada lainnya. Apalagi alas kaki yang dikenakan bukan sepatu, melainkan sandal yang mirip terompah.
Perubahan Menarik dalam Bregada Nyutra
Ndilalah, pada garebeg pertama seusai pandemi itu, ada perubahan menarik dalam Bregada Nyutra, yang sepertinya bakal membuatku mengidolakannya lagi. Pasukan pembawa towok (lembing) serta tameng dalam bregada ini, sekarang diisi oleh para abdi dalem mataya (penari) di bawah KHP Kridhamardawa, divisi yang mengurusi seni dan pertunjukan di keraton. Khusus pasukan ini, juga mengalami perubahan dalam hal pakaian. Kalau dulunya mengenakan atasan berlengan panjang seperti prajurit Nyutra lainnya, kini menjadi tanpa lengan.
Para penari dalam Bregada Nyutra (dok. IG @kratonjogja) |
Saat melewati Sitihinggil hingga Pagelaran, pasukan penari berjalan sembari melakukan tayungan. Bagi yang belum mengetahui, penjelasan simpelnya, tayungan merupakan gerakan dasar dalam tarian klasik putra gaya Yogyakarta, berupa melebarkan langkah kaki ke samping serta posisi tubuh mendhak (merendah) ketika berjalan, untuk memunculkan persona gagah dan berwibawa. Lebih jelas bagaimana gerakannya, bisa dilihat di bawah ini.
Mengapa Prajurit Nyutra harus bisa menari? Hal ini sesuai dengan asal-usul mereka, dahulu merupakan prajurit yang paling dekat dengan Raja. Bertujuan mengelabui musuh, seolah-olah Raja dikelilingi para prajurit yang "hanya" bisa menari, padahal sesungguhnya dikawal kesatuan prajurit yang trengginas dan selalu siaga jika Raja terancam bahaya.
Bregada Nyutra berjalan sambil menari tayungan (dok. IG @kratonjogja) |