Mantan Manten, Film Penuh Wejangan Hidup yang Berbalut Adat Jawa
Banyak yang awalnya mengira kalau film Mantan Manten merupakan drama romantis berbalut komedi, termasuk aku. Poster film berlatar pink merona dan sepasang (mungkin) kekasih saling berpandangan mesra, lah, yang menggiring ekspektasi tersebut. Nyatanya, saat seminggu lalu aku menonton film produksi Visinema Pictures ini bareng teman-teman KJog, ceritanya memang romantis, pada awalnya saja. Selepas 10 menit berlalu, penonton disuguhi adegan demi adegan yang membuat terenyuh bagi tim baperan sepertiku.
memang romatis, pada awalnya... (dok. tribunnews.com) |
Judul Mantan Manten sendiri memiliki makna yang ambigu, bisa berarti mentah-mentah mantan manten (pengantin) atau pernah menikah, bisa berarti juga mantan yang mantenan alias mantan kekasih menikah (dengan orang lain). Hmm... dari awal saja sudah membuat penasaran.
Ialah Yasnina Putri, wanita muda dengan kehidupan serba mewah dan punya segalanya: harta melimpah, karier cemerlang sebagai manajer investasi, serta kekasih bernama Surya Iskandar yang tampan nan setia. Persis seperti yang seringkali digambarkan dalam novel MetroPop yang sesekali kubaca. Hidup Yasnina makin terasa sempurna manakala Surya melamarnya. Kesempurnaan tersebut rupanya enggan berlama-lama mengiringi Nina. Dalam waktu singkat hidupnya porak-poranda dan kehilangan segalanya, setelah partner bisnisnya, Iskandar yang tak lain adalah ayah kekasihnya, memanipulasi usaha yang mereka rintis dan jalankan bersama. Dari situ perjuangan Nina dimulai.
posternya romatis banget (dok. Visinema Pictures) |
Diselimuti dendam yang membuncah dalam dada, Nina ingin membalas atas apa yang telah dialaminya. Ia berencana menggunakan satu-satunya hartanya yang tersisa--itupun masih jadi sengketa--sebagai amunisi. Sayangnya, harta tersebut berada jauh dari Jakarta. Ia pun memulai pencariannya, di sebuah desa sejuk dan asri yang terletak di kaki Gunung Lawu, Tawangmangu.
Kesyahduan suasana Tawangmangu membawanya pada takdir yang mempertemukan dengan sosok Budhe Marjanti, seorang perias pengantin tradisional Jawa yang biasa disebut sebagai tukang paes atau pemaes. Budhe Mar ini memiliki kepribadian yang sama kuatnya dengan Nina. Dedikasi dan passion-nya pada profesinya sangatlah total. Niat awal Nina pun terpaksa harus ditahan karena dengan beberapa kesepakatan dan perjanjian, ia malah harus menjadi asisten Budhe Mar yang ternyata merupakan 'lawan' dalam sengketa atas kepemilikan sisa hartanya.
Nina yang biasa hidup di kota metropolitan dan lulusan luar negeri musti tinggal di desa dan melakukan pekerjaan yang sama sekali tak pernah terlintas dalam pikirannya, bahkan mungkin ia tak pernah berpikir ada pekerjaan yang penuh perhitungan dan ritual tersebut di dunia ini.
perjuangan Yasnna belajar paes (dok. Visinema Pictures) |
Tak sampai di situ saja, perjuangan dan pengorbanan Nina semakin berat dengan datangnya masalah yang bertubi menimpa, sementara masalah yang sebelumnya belum selesai. Orang-orang terdekatnya berkhianat dan dianggapnya menusuk dari belakang. Termasuk Surya yang selama ini berjanji berada di sisinya, apapun yang terjadi?
Kalau dibahas juga, sebenarnya spoiler, tapi di beberapa review dan artikel justru banyak yang membeberkannya. Lanjut ke Yasnina lagi, hati dan perasaannya dipermainkan seperti saat naik rollercoaster. Hidup sungguh berat bagi Nina. Ia sempat berputus asa dan lari meninggalkan segalanya, tapi itu hanya sebentar. Ia selalu bisa kembali menata hatinya. Bagi Nina, emosi sesaat boleh saja, karena itu memang harus dikeluarkan, baru kemudian ia mengambil keputusan ulang dengan hati dan pikiran yang sudah jernih.
Puncaknya adalah ketika Budhe Mar yang seiring berjalannya waktu memiliki kedekatan emosinal dengan Nina harus pergi dan meninggalkan 'hutang' yang secara tidak langsung harus dilunasi oleh Nina. Sejenak Nina ingin lari selamanya dari masalah yang mungkin terberat selama hidupnya tersebut. Namun, lagi-lagi ia berhasil menjernihkan pikiran dan menata hatinya. Ia bertekad menghadapi pertarungan tersebut dan memenangkannya. Bukan, pertarungannya bukan untuk melawan orang lain, tapi justru melawan batinnya sendiri. Di bagian sepertiga terakhir itu, aku ikut terhanyut dalam perjuangan Nina untuk memaknai apa itu arti ikhlas.
Yasnina yang telah menguasai ilmu paes, menjalankan tugas pertamanya (dok. Visinema Pictures) |
Di pertarungannya, saat Nina mampu tersenyum dengan keikhlasan yang terpancar dari sorot matanya, aku justru merasa merinding. Film dengan skenario yang ditulis oleh sang sutradara Farishad Latjuba bersama Jenny Jusuf ini katanya bergenre drama, tapi di situ aku seolah menonton film horor. Apa yang dialami oleh Yasnina terasa lebih menakutkan dibandingkan hantu-hantu yang muncul dalam film horor yang sering kutonton. Aku tak mampu membayangkan jika jadi Yasnina. Namun, darinya belajar banyak. Wanita itu harus kuat dan mandiri, tak boleh bergantung pada siapapun, meski itu kekasih atau suamimu.
Dari Yasnina juga aku belajar apa itu ikhlas yang sesungguhnya. Mungkin pada awalnya Yasnina pun tak bisa memaknai apa itu ikhlas, tetapi kedekatan dan interaksi dengan Budhe Mar membawanya menjadi pribadi yang lebih matang.
Akhir film ini bisa disebut sad ending, namun bisa juga dikatakan happy ending. Meski tak begitu mengejutkan karena banyak clue, plot twist dalam film ini lumayan mengaduk perasaan.
belajar dari Nina, masalah ada bukan untuk ditinggal lari, tapi untuk dihadapi dan diselesaikan |
Secara garis besar, aku memang hanya menampilkan kisah Yasnina di artikel ini, tapi sejujurnya sosok Budhe Mar pun mencuri perhatian. Di kehidupan yang semakin modern ini, profesi tukang paes mulai tak diminati, beralih ke profesi yang lebih kekinian, make-up artist atau lebih sering disebut dengan singkatannya MUA. Di sini, Budhe Mar memiliki niat mulia, ingin melestarikan profesi yang sebenarnya mengandung nilai-nilai luhur tersebut. Dunia paes dinilai oleh beberapa pihak sudah ketinggalan zaman dan tidak praktis alias ribet karena harus menjalanan berbagai prosesi serta ritual khusus.
Bagiku sendiri, paes yang lekat dengan pernikahan adat Jawa justru mengingatkan pada belasan tahun lalu saat masih duduk di bangku SMA dan mendapat tugas Antropologi, kelompokku memilih mengangkat tema tersebut. Ketika dalam film ini membahas lebih detail tentang kehidupan paes dan ritual-ritual yang dijalankan, baik oleh si pemaes ataupun oleh sepasang pengantinnya, aku merasa tak asing, bahkan dengan makna di baliknya.
Alasanku ingin menonton film ini salah satunya karena kental dengan nuansa adat Jawa. Orang Jawa itu nampaknya ribet dan banyak ritual, tapi begitulah salah satu cara mereka menyampaikan permohonan dan menyampaikan rasa syukur kepada Yang Maha Kuasa.
suka banget dengan chemistry antara Nina dan Budhe Mar ini... |
Tutie Kirana lewat Marjanti berhasil menghidupkan sosok tukang paes seperti yang selama ini kutahu--tetanggaku ada dua orang yang berprofesi sebagai tukang paes, yaitu tegas dan saklek (berpendirian atau berprinsip teguh).
Dalam film ini, kali pertama menyaksikan akting Atiqah Hasiholan di layar lebar. Duh, Mbak, gara-gara aktingmu, aku sungguh menjura pada Yasnina, karakternya kuat banget. Akting Arifin Putra sebagai Surya cukup disebut lumayan, mungkin karena ia jarang muncul. Masih mending Marthino Lio sebagai Ardy, asisten Yasnina yang kemudian menjadi sahabatnya.
Oh iya, ketimbang chemistry antara Nina dan Surya yang katanya sepasang kekasih itu, aku lebih suka chemistry antara Nina dengan Budhe Mar yang lebih merasuk dalam jiwa. Hubungan Budhe Mar dan Nina ini unik... sebal, benci, sayang, dan hormat menggenapi ikatan yang bisa disebut sebagai antara guru dan murid, pun antara ibu dan anak (ketemu gede). Tio Pakusadewo sebagai Iskandar jangan ditanya kualitas aktingnya, menurutku ia selalu berhasil memerankan karakter yang menyebalkan.
Ada juga Dodit Mulyanto sebagai Darto tetangga Budhe Mar yang kocak, namun di sini celutukan-celutukan konyolnya kurang total karena memang tidak ada 'lawan', sekadar memenuhi syarat tak tertulis kalau dalam film harus ada sisipan adegan komedinya. Banyak juga aktor terkenal yang menjadi cameo dalam film ini, mulai dari si ganteng Ben dalam Filosofi Kopi hingga Michael Villareal, mantan suami Sophia Latjuba. Ada juga Asri Welas yang aku bingung dalam film ini sebenarnya sebagai pemeran pembantu atau cuma cameo.
Untuk kamu yang belum bisa move on dari berbagai masalah, film ini patut ditonton sebagai penyemangatmu, bahwa setiap masalah selalu ada jalan keluar. Move on bukan berusaha melupakan, tapi berusaha mengikhlaskan. Dan, seperti kata Budhe Mar yang kurang lebih begini,
Kisah orang itu beda-beda, jangan membandingkan diri sendiri dengan pengalaman satu orang saja. Jadinya akan susah bersyukur.
Sepakat banget sama Budhe Mar, saat mengalami masalah, seringnya kita merasa jadi yang paling malang di dunia ini, padahal kalau mau melihat, di luar sana banyak orang dengan masalah yang lebih berat. Hanya dengan bersyukur serta percaya dan yakin pada diri sendiri, kita mampu menyelesaikan masalah yang menimpa.
Mumpung masih diputar di bioskop, yuk temui Yasnina dan Budhe Mar juga, biar kamu jadi lebih setrong.
***