Susah Move On
Sudah empat hari ini aku hidup tanpa smartphone. Entah sudah ke berapa kalinya smartphone yang kunamai Pluie itu bermasalah. Puncaknya adalah Jumat malam lalu, ia yang awalnya restart berulang-ulang, akhirnya pada Minggu malam benar-benar mati total. Enggan nyala kembali. Mungkin, ia sudah lelah.
"Hape-mu kui njaluk resign, Sha!" Celetuk seorang teman.
Sepertinya memang benar, sudah saatnya aku upgrade ke smartphone yang baru. Baru lho, ya, bukan canggih. Tak semua orang memerlukan gadget canggih, aku salah satunya. Dari dulu, pertimbanganku membeli ponsel bukan karena kecanggihannya, namun karena simpelnya, pun karena 'kliknya' ketika pertama kali melihatnya.
Begitu juga kali ini. Dengan berat hati, aku musti rela meninggalkan Pluie, dan beralih ke smartphone yang baru. Jangan ditanya, ya, mengapa aku tak berusaha untuk memperbaikinya dulu. Aku sudah melakukan mulai dari soft reset hingga memperbaiki dengan recovery tool. Hasilnya nihil. Alih-alih segera membeli yang baru, aku malah galau. Bukan apa-apa, aku hanya bingung akan membeli tipe yang mana. Hahaha.
Terus terang saja, aku sudah terlanjur nyaman dengan sederhananya OS Windows Phone, yang kalau tak keliru, kini sudah berganti menjadi Windows Mobile kembali. Ya, ya... aku tahu WP memang banyak kekurangan dibanding OS sebelah yang penggunanya super buanyak itu. Tapi, apa mau dikata... hati sudah terlanjur tertambat pada WP.
adek bingung, bang... (sumber gambar) |
Lalu, yang jadi masalah kemudian adalah, setelah membaca berbagai review, aku semakin bingung. Rasa-rasanya belum ada yang nyangkut lagi di hati. Bukan karena banyaknya pilihan, ya. Pilihan ponsel WP justru terbatas, makanya musti hati-hati memilih. Kadang sudah mantap akan membeli tipe A, setelah baca review kanan-kiri jadi ragu karena ternyata pilihan tersebut ada kekurangan. Buyar. Inilah yang menjadi alasan mengapa hingga kini hidupku masih tanpa smartphone. Padahal, andai saja aku mau mencoba beralih ke OS Android, mungkin tak segalau ini. Android pilihannya memang banyak, tapi kurasa takkan membuat bingung.
Namun, dari kejadian ini, aku justru menguji diri sendiri, seberapa lama mampu hidup tanpa smartphone yang ketika memilikinya, setiap saat selalu kujamah. Mulai dari sekedar gonta-ganti status BBM, browsing atau upload foto di Instagram, ngrumpi di WhatsApp, hingga yang paling penting adalah menggunakannya untuk menyimpan segala susuatu yang berkaitan dengan bakulan.
Sejauh ini, aku masih mampu bertahan. Paling beberapa teman yang ada perlu denganku saja yang sedikit protes. Untuk mengubungiku musti lewat SMS, musti keluar pulsa, bikin boros, bla bla bla...
Beginilah aku. Bagiku, jika sudah menyangkut perihal hati, seringkali susah move on, meski itu hanya tentang ponsel. *tepok jidat* Tak tahu kapan akhirnya aku bisa mengambil keputusan. Segala sesuatu membutuhkan proses. Satu yang pasti, hidupku baik-baik saja tanpa smartphone. Jadi, nikmati saja dulu masa di mana tangan kembali memegang ponsel berukuran mungil ini.
***