Aku Dulu Pernah Berada di Posisimu
Rasanya seperti bertahun-tahun nggak update blog ini. Padahal, sejak empat bulan lalu banyak hal yang ingin diceritakan. Tapi entah mengapa, susah banget untuk menuangkannya dalam tulisan. Jari-jemari menjadi kaku saat berada di atas keyboard, otak menjadi buntu saat berada di depan monitor. Ah, mungkin itu hanya alasanku saja, karena sebenarnya itu adalah kemalasanku. Hiks.
Sore tadi, ketika sok-sokan rajin membaca portal berita, aku menemukan sebuah artikel yang isinya sedikit mengingatkan pada diriku sendiri. Jadi, ceritanya ada sepasang suami-istri di Iowa yang seharusnya merasa kecewa oleh pelayanan sebuah restoran tempat mereka merayakan ulang tahun pernikahan. Namun, alih-alih marah, mereka malah memberikan tip dalam jumlah yang sangat besar, bahkan lebih besar dari tagihannya.
Lantas, mengapa mereka melakukan hal tersebut? Usut punya usut, rupanya mereka pernah mengalami bagaimana rasanya berada di posisi sebagai pelayan. "We've both been in your shoes. Paying it forward," tulis mereka dalam selembar kertas tagihannya. Mereka dulu memang pernah menjadi pelayan, dan mereka tahu bagaimana rasanya jika pihak restoran membuat kesalahan, maka pelanggan akan marah-marah. Tak peduli seberapa banyak si pelayan meminta maaf, pelanggan tak akan mau tahu.
Makenzi Schultz meninggalkan pesan dalam tagihan (sumber gambar) |
Mengutip dari artikelnya di sini, Makenzi Schultz dan suaminya tersebut berpikir, daripada mencela keburukan sebuah restoran, mereka memilih untuk menjadikan sesuatu yang negatif menjadi sebuah kesan yang positif. "Ini lebih pada upaya kami untuk berbuat baik kepada orang lain, serta untuk memberi tahu dia bahwa kami juga pernah merasakan hal yang sekarang ia rasakan," ungkap mereka.
Setelah membaca artikel tersebut, aku langsung teringat pada diriku sendiri. Aku bukannya melakukan hal seperti mereka yang memberikan sejumlah uang dengan cuma-cuma. Aku hanya menerapkan hal keciiil yang kulakukan karena aku juga pernah merasakan berada pada posisi tertentu.
Dalam hal tersebut, kaitannya adalah pelayanan terhadap pelanggan. Sebagai seorang perempuan, wajar banget jika sering kalap saat dihadapkan pada barang-barang yang berbau obral atau diskon. Nah, kalau di toko pakaian atau di mall, baju-baju yang diobral biasanya ditata di wagon. Dan, para customer suka seenaknya membuat semuanya jadi berantakan saat memilih-milih, tanpa mau melipatnya kembali. Pokoknya tarik-buka-lempar menjadi kegiatan yang sangat mengasyikkan saat ada obralan.
Meski hal itu sah-sah saja dilakukan, tapi terkadang, di benak para SPG ada juga rasa sebal, apalagi kalo customer tersebut akhirnya tidak membeli apa-apa. Jika Makenzi pernah menjadi pelayan, aku pernah menjadi SPG selama beberapa tahun, dan perasaan seperti itu manusiawi. Dari pengalaman tersebut, sekarang setiap melihat-lihat baju obralan yang ditumpuk di wagon, pasti akan kulipat lagi. Hitung-hitung meringankan pekerjaan SPG-nya, karena melipat banyak pakaian itu butuh perjuangan juga, lho.
Selain itu, pekerjaanku yang sekarang juga mengajarkanku untuk menghargai para CSO atau customer service officer. Tugas sebagai CSO tak pernah bisa lepas dari ajang pelampiasan kemarahan para pelanggan. Mending kalau marah-marahnya masih dalam batas wajar, terkadang ada yang marahnya sangat-sangat tidak sopan, sambil membawa-bawa penghuni kebun binatang. Kalau sudah begitu, rasanya ingin balas mendebat, tapi dalam dunia CSO, ada rambu-rambu yang mengatur sampai sejauh mana diperbolehkan mendebat pelanggan. Kalau sudah begitu, jadinya serba salah. Dan ujung-ujungnya, pengin mewek karena dikata-katain seenaknya. Hahaha curcol, nih.
aku dalam pekerjaanku sekarang, saat pesta kostum (dok pribadi) |
Tak ingin membuat orang lain merasakan apa yang kurasakan, tiap kali diharuskan menghubungi call center pihak provider atau bank, sebisa mungkin aku menjaga kata-kata yang kugunakan untuk melakukan komplain. Kadar perasaan orang berbeda-beda, ada yang sangat sensitif, ada juga yang sudah kebal mendengar kata-kata menyebalkan. Aku mana tahu perasaan orang yang sedang kuaajak bicara melalui telepon, jadilah memilih menjaga bicaraku saja. Walaupun kadang, suka sebal juga kalau "ketemu" dengan CSO yang susah mudheng diajak bicara. Rasanya ingin bicara dengan intonasi tinggi agar ia (mungkin) bisa paham.
Sama seperti Makenzi dan suaminya, aku terus belajar untuk menerapkan bahwa kekurangan tidak harus dibalas dengan kekurangan. Kalau meniru istilah anak gaul zaman sekarang, "Keep calm and treat others as you would like to be treated." Perlakukan orang lain sebagaimana kita ingin diperlakukan. Meski kita pernah diperlakukan tidak baik oleh seseorang, jangan membalas perlakuan buruknya tersebut, apalagi melampiaskan pada orang yang lainnya. Kali ini, bukan dalam hal pelayanan pada pelanggan saja, tapi dalam hal apa pun.
***