Belanja Online yang Kurang Menyenangkan
Tak ingat alias lupa, sejak kapan tepatnya aku jadi lumayan kerap berbelanja online. Beberapa macam barang pernah aku beli secara online. Mulai dari jersey bola, pakaian wanita, makanan kecil, perawatan wajah atau tubuh, serta yang paling sering adalah buku.
Suatu ketika, pelembab wajah yang biasa kugunakan sudah kosong di berbagai supermarket atau toko-toko kosmetik di Jogja, karena menurut informasi, varian tersebut memang akan ditarik oleh pabriknya. Terlanjur cocok, sementara stok nyaris habis, aku pun iseng googling, siapa tahu ada yang menjual secara online. Ternyata, memang ada. Aku menemukan dua toko yang masih menjualnya. Tanpa pikir panjang, aku segera memesannya. Kebetulan, stok di masing-masing toko tersisa satu saja. Aku memesannya di dua toko tersebut, dengan alasan untuk stok jangka panjang.
tinggal klik, barang dikirim (sumber gambar) |
Sebut merek boleh nih, ya. Jadi, dua toko itu adalah blibli.com dan sukamart.com. Toko yang pertama, setelah aku membeli, kami sudah tak ada hubungan lagi. Ciyeee bahasanya, semacam orang pacaran saja. Sedangkan toko yang kedua, ia aktif mengirimkan berbagai promo melalui e-mail. Bahkan, pernah memberikan empat voucher potongan harga dengan syarat harus mengajak orang baru untuk berbelanja di sana. Puncaknya adalah ketika menjelang ulang tahunku pada Mei lalu, Sukamart mengirimkan kartu ucapan beserta voucher potongan harga yang lumayan sayang kalau diabaikan.
Awalnya, aku tak berminat menggunakannya, namun beberapa hari menjelang expired, aku berubah pikiran. Karena Sukamart semacam supermarket online, maka barang-barang yang dijual pun kebanyakan sama seperti yang ada di supermarket. Aku bingung dong, mau beli apa. Setelah membuka hampir seluruh kategori, akhirnya aku menemukan beberapa barang yang lantas masuk cart. Setelah memasukkan kode voucher yang diberikan, sisa yang harus kubayar menjadi sekitar 70 ribu. Seperti biasa, jika melakukan transaksi online, sebisa mungkin aku segera melakukan transfer pembayaran, begitu juga dengan transaksi kala itu.
Satu minggu kemudian, buntelan yang berisi grocery itu tak kunjung tiba. Padahal, biasanya paling lama lima hari sudah sampai. Itu pun dikirim menggunakan JNE tarif OKE, sementara yang kutunggu-tunggu saat itu, menggunakan tarif reguler yang harusnya lebih cepat sampai. Saat aku lacak melalui web-nya, ternyata buntelan tersebut sudah tiba di Jogja tiga hari sebelumnya dan keterangannya 'Received On Destination', lalu mengapa proses pengantaran ke rumahku jadi sebegitu lama?
Dalam kasus tersebut, yang bermasalah adalah ekspedisinya. Aku lantas menanyakannya pada pihak JNE melalui akun twitter-nya, namun tak ada respons. Akhirnya, aku minta tolong pihak Sukamart melalui akun twitter-nya juga untuk melakukan pengecekkan di ekspedisi. Beberapa hari kemudian, JNE Jogja mengirimkan SMS yang menginformasikan kalau buntelan yang berisi grocery dari Sukamart hilang saat proses pengiriman. Eh, lha kok bisa?! Oiya, hari-hari selanjutnya, JNE juga berkali-kali mengirimkan SMS untuk memastikan apakah benar-benar tidak ada anggota keluarga lainnya yang menerima buntelan tersebut. Mbak... Mbak... tadi katanya hilang, lha kok trus tanya-tanya begitu. Selain itu, JNE juga menanyakan isi grocery-nya berupa apa saja. Gimana sih, malah pake kepo segala.
Nyaris sebulan kemudian, pihak Sukamart juga menghubungi melalui telepon. Ia menginformasikan kalau buntelanku memang hilang, dan menanyakan apakah uangnya ingin di-refund atau barang dikirim kembali―dengan catatan dicek stoknya dulu di gudang. Aku memilih opsi yang kedua. Tanpa konfirmasi lagi, Sukamart kemudian mengirimkan buntelan dengan isi yang sama.
Beneran sebulan kemudian, ada kurir JNE yang mengirimkan SMS pemberitahuan kalau ada buntelan untukku tapi sistemnya COD. Tanpa menunggu balasanku, kurir tersebut langsung datang ke rumah, dan penerimanya adalah adikku yang tak mengerti permasalahannya. Setahu adikku, pengiriman tersebut memang COD, sehingga ketika dimintai tagihan sejumlah 70 ribu, ia bayarkan saja. Begitu tahu, aku langsung tak terima, lha wong aku sudah bayar melalui transfer, dan itu bukan re-order, tapi memang Sukamart yang berniat mengganti buntelanku yang hilang.
Sempat su'udzon pada kurir yang mengantar, aku mengrimkan SMS padanya untuk memastikan. Ia memintaku untuk menghubungi pihak Sukamart saja kalau aku merasa tak percaya. Siang itu juga, aku kembali bertanya melalui akun twitter Sukamart. Setelah dicek, pihaknya minta maaf karena memang terjadi kesalahan, dan memintaku untuk menyampaikan pada kurir yang mengantar agar menghubungi Sukamart. Aku kembali menghubungi kurir, ia mengatakan kalau akan menyampaikan pada admin di kantor JNE Jogja, karena ia tidak berwenang untuk menghubungi.
Keesokan harinya, pihak JNE menghubungiku dan meminta detil transaksi yang berupa bank tujuan, tanggal transfer beserta jumlah yang kutransfer, tapi karena aku lupa dan semuanya tersimpan di e-mail, maka aku meminta jeda untuk melakukan pengecekkan, lalu selanjutnya kuinformasikan lewat SMS saja. Aku juga menyampaikan kalau JNE Jogja diminta menghubungi Sukamart, eh, Si Mbak yang menghubungiku malah minta disampaikan pada Sukamart kalau Sukamart lah yang harus menghubungi JNE Jakarta. Lha piye tho iki? Malah dilempar-lempar gitu.
Selang beberapa jam selanjutnya, aku mengirimkan SMS detil transaksiku pada JNE, tapi tak ada respons. Kalau tak salah, tiga hari kemudian aku tanya ke kurir, apakah kasusku sudah ada kabar. "Belum ada, Mbak. Saya belum dapat info lagi dari orang kantor," jawabnya.
Seminggu, dua minggu, tiga minggu.... aku lupa kalau punya masalah dengan kedua pihak tersebut. Dan, baru ingat kembali hari ini, tapi aku sudah malas mengurusnya lagi. Waktu itu sudah mengikhlaskannya, hanya saja aku ingin tahu sejauh mana tanggung jawab mereka. Ini bukan tentang uang yang 'cuma' sebesar 70 ribu, tapi masalah pelayanan dan pertanggungjawaban pada customer. Namun, rupanya mereka tak ada iktikad untuk menyelesaikannya.
Kasus tersebut, untuk pelajaran dan pengalaman saja, sih. Karena, puluhan kali melakukan belanja online, baru kali itu kena kasus. Aku patut bersyukur karena uang yang kubelanjakan 'cuma' 70 ribu. Anggap saja, itu merupakan salah satu seninya belanja online. Dengan adanya kasus tersebut, alih-alih kapok, aku malah semakin getol berbelanja secara online. Mau gimana lagi, sudah menjadi kebutuhan sih, ya. Just if you know what I mean. ;)
Sempat su'udzon pada kurir yang mengantar, aku mengrimkan SMS padanya untuk memastikan. Ia memintaku untuk menghubungi pihak Sukamart saja kalau aku merasa tak percaya. Siang itu juga, aku kembali bertanya melalui akun twitter Sukamart. Setelah dicek, pihaknya minta maaf karena memang terjadi kesalahan, dan memintaku untuk menyampaikan pada kurir yang mengantar agar menghubungi Sukamart. Aku kembali menghubungi kurir, ia mengatakan kalau akan menyampaikan pada admin di kantor JNE Jogja, karena ia tidak berwenang untuk menghubungi.
Keesokan harinya, pihak JNE menghubungiku dan meminta detil transaksi yang berupa bank tujuan, tanggal transfer beserta jumlah yang kutransfer, tapi karena aku lupa dan semuanya tersimpan di e-mail, maka aku meminta jeda untuk melakukan pengecekkan, lalu selanjutnya kuinformasikan lewat SMS saja. Aku juga menyampaikan kalau JNE Jogja diminta menghubungi Sukamart, eh, Si Mbak yang menghubungiku malah minta disampaikan pada Sukamart kalau Sukamart lah yang harus menghubungi JNE Jakarta. Lha piye tho iki? Malah dilempar-lempar gitu.
Selang beberapa jam selanjutnya, aku mengirimkan SMS detil transaksiku pada JNE, tapi tak ada respons. Kalau tak salah, tiga hari kemudian aku tanya ke kurir, apakah kasusku sudah ada kabar. "Belum ada, Mbak. Saya belum dapat info lagi dari orang kantor," jawabnya.
Seminggu, dua minggu, tiga minggu.... aku lupa kalau punya masalah dengan kedua pihak tersebut. Dan, baru ingat kembali hari ini, tapi aku sudah malas mengurusnya lagi. Waktu itu sudah mengikhlaskannya, hanya saja aku ingin tahu sejauh mana tanggung jawab mereka. Ini bukan tentang uang yang 'cuma' sebesar 70 ribu, tapi masalah pelayanan dan pertanggungjawaban pada customer. Namun, rupanya mereka tak ada iktikad untuk menyelesaikannya.
borong terus! (sumber gambar) |
Kasus tersebut, untuk pelajaran dan pengalaman saja, sih. Karena, puluhan kali melakukan belanja online, baru kali itu kena kasus. Aku patut bersyukur karena uang yang kubelanjakan 'cuma' 70 ribu. Anggap saja, itu merupakan salah satu seninya belanja online. Dengan adanya kasus tersebut, alih-alih kapok, aku malah semakin getol berbelanja secara online. Mau gimana lagi, sudah menjadi kebutuhan sih, ya. Just if you know what I mean. ;)
***