Selepas 13 bulan berlalu, aku baru mampu menuliskan semua ini. 22 Maret 2013, simbah berpulang pada Sang Empunya Kehidupan. Meski telah ikhlas sejak awal, aku selalu saja merasa kalau simbah masih ada di dunia yang sama denganku. Sering kubayangkan simbah ada di rumahnya sedang memasak, memberi makan ayam, menyapu halaman, menjahit kain-kain perca untuk dijadikan sarung bantal dan guling, atau sekedar leyeh-leyeh mendengarkan musik campursari dari radio bututnya. Saat di rumah banyak makanan, tak jarang juga aku hampir keceplosan, "Diantar ke simbah aja."
Setiap kali membahas atau memikirkan tentang simbah, mataku masih selalu berkaca-kaca, bahkan terkadang air mataku meleleh. Tak peduli sedang sendirian atau sedang berada di antara banyak orang. Ya, bagaimana mungkin aku bisa dengan mudah dan cepatnya melupakan simbah, sementara aku begitu dekat dengan simbah semasa hidupnya. Masa kecilku sering diajak bepergian olehnya. Hampir setiap hari Minggu aku diajak simbah ke kondangan. Simbah memiliki banyak teman, hal ini dikarenakan simbah seorang makelar tanah dan rumah. Simbah memang seorang makelar, tapi bukan berarti berduit banyak, yang kutahu simbah adalah orang yang sederhana. Apalagi simbah itu buta huruf dan bodoh dalam artian karena tidak pernah sekolah, jadi tak hanya sekali-dua kali kalau dicurangi oleh klien atau teman-teman bisnisnya. Meski begitu, simbah selalu nrimo saja. Simbah selalu berpikirian, biar Allah yang membalas mereka.
Aku pantas bersyukur bisa tumbuh besar dengan iringan seorang simbah yang walaupun bodoh namun secara tidak langsung banyak mengajarkan berbagai hal, perihal ilmu kehidupan. Simbah tak pernah memberikan wejangan pada cucu-cucunya agar begini-begitu. Simbah mengajarkan kebaikan, langsung melalui tindakan, tanpa banyak teori. Mulai dari kesederhanaan, kesabaran, tangguh dalam menghadapi hidup, hingga rajin beribadah. Sepertinya hal-hal tersebut sangat sepele, namun aku belum mampu meneladani simbah, apalagi hal terakhir yang kusebutkan. Simbah benar-benar layak dicontoh dalam ibadahnya. Sebelum akhir hayatnya pun, di tengah-tengah rasa sakitnya, ia masih mampu berzikir. Simbah juga 'memilih' hari Jumat sebagai waktu kepulangannya. Subhanallah, menurut hadits, orang muslim yang meninggal di hari Jumat akan dilindungi Allah dari siksa kubur. Aamiin...
Sekitar dua tahun lalu,
saat aku menggandeng tangan simbah di pernikahan adik, aku tersadar bahwa simbah sudah
sangat sepuh. Teringat masa kecil, simbah lah yang sering menggandeng
tanganku.
Kemudian pada tahun lalu, ketika aku menjenguk simbah yang sakit dan terbaring tak
berdaya, aku segera tahu bahwa mungkin takkan lama lagi simbah berada di
dunia ini. Namun, aku tak pernah menyangka kalau simbah akan pergi
setelah 30 jam kemudian.
Aku
menyaksikan bagaimana perjuangan simbah menjelang akhir
hayatnya. Simbah tak pernah sakit parah, paling hanya masuk angin saja atau pusing karena tekanan darahnya naik-turun. Sebelum meninggal, simbah didiagnosa terkena infeksi saluran pencernaan. Mungkin penyakit simbah bukan penyakit keras
manakala penderitanya masih muda dan kuat. Tapi, simbah sudah sepuh, daya tahan tubuhnya tak sekuat dulu lagi. Aku tak tega saat melihatnya kesakitan dan semacam frustasi
karena tak mampu beraktivitas seperti biasanya. Memang, meski simbah sudah
sepuh, ia masih melakukan banyak aktivitas rumah tangga.
Simbah jatuh sakit pada Sabtu pagi, manakala Jumat sebelumnya masih mampu tadarus di masjid hingga malam. Saat dikabari kalau simbah masuk angin, kukira itu memang sakit seperti biasanya. Namun, jadi agak was-was ketika ibu dan paklik bergantian menjagai simbah. Ketika di rumah, ibu bercerita kalau kesehatan simbah sudah sangat menurun. Bicaranya jadi cadel seperti anak kecil dan ngelantur, bahkan terkadang menyanyi-nyanyi sendiri. Simbah juga seringkali bilang kalau sudah ditunggui oleh almarhumah guru mengajinya dan anak sulungnya yang sudah meninggal sejak dilahirkan. Pada saat itu, perasaanku langsung tak enak. Seolah hatiku mengatakan harus mulai mengikhlaskan simbah.
Setelah itu, aku terus berdoa dan meminta yang terbaik untuk simbah. Jika memang simbah diizinkan sehat lagi, maka aku mohon segera diberi kesembuhan. Namun jika janji simbah untuk hidup di dunia sudah sampai, maka aku mohon agar diberi kemudahan dan kurangilah penderitaannya.
Aku baru sempat menjenguk simbah di hari Kamis-nya. Aku langsung menangis saat mencium tangan simbah, karena sebelumnya aku tak pernah menyangka kondisi simbah akan seperti saat itu. Aku sempat memijat kakinya dan yang membuatku takjub adalah, daya ingat simbah masih tetap tajam. Ia sempat menanyakan tentang kejadian tercecernya dompetku dan
Gee yang rusak kemudian kutinggal di bengkel. Aku mengiyakan, juga bercerita kalau saat itu sudah ada Hugo sebagai pengganti Gee. Karena siang itu musti kerja, dengan terpaksa aku pun meninggalkan simbah dan berjanji besok (Jumat) akan datang lagi.
Pada Jumat keesokan harinya, kebetulan aku libur kerja, sehingga bisa lebih lama berada di dekat simbah yang akhirnya pada Kamis sore dibawa ke RS.
Ba'da jam salat jumat aku tiba di RS, mendapati simbah lebih segar dari hari kemarin. Begitu aku datang, simbah terbangun dari
liyer-liyernya dan menyebut namaku untuk memastikan memang akulah yang datang. Ia juga masih bisa bercerita kalau hari itu diminta berpuasa hingga jam tujuh malam oleh perawat.
Semakin siang, kondisinya kembali memburuk dan sering mengaduh kesakitan. Aku benar-benar tak tega melihatnya, hingga sesaat sebelum ashar tiba, aku keluar bangsal dan duduk di kursi dekat taman. Ditemani semilir angin, pikiranku mengembara ke mana-mana, termasuk terkenang masa-masa terdahulu bersama simbah. Mataku kembali berkaca-kaca, kemudian aku mengambil wudhu dan sholat ashar. Kembali aku memohon pada-Nya agar memberikan yang terbaik untuk simbah.
Sekitar jam empat sore aku kembali ke bangsal. Simbah sudah
disibin oleh ibu, saat itu perasaanku sangat tak enak. Puncaknya ketika tetangga-tetangga simbah datang menjenguk. Saat simbah ditanya siapa saja yang datang, pikirannya sudah
blank dan tak mampu mengenali mereka. Aku merebahkan tubuh di atas dipan sebelah simbah yang kebetulan tak ada pasien. Aku memiringkan tubuh menghadap tembok dan menangis sejadinya―dengan tanpa suara tentu saja. Di sela-sela tangisku, aku membacakan
yasin untuk simbah.
Aku mendengar tatkala simbah mengeluh sesak dan susah bernapas, namun aku masih enggan melihatnya. Aku tak tega. Kemudian, bulik memanggil perawat dan meminta tabung oksigen yang akhirnya tak jadi dipasang. Pada detik-detik terakhirnya―mungkin itulah saat sakaratul mautnya, simbah meminta miring ke arah kanan. Dengan dibimbing orang-orang di sekelilingnya, simbah mampu berzikir hingga akhirnya tertidur pulas untuk selamanya. Masih teringat dengan jelas ketika ibu menepuk-nepuk tubuh simbah dan menangis sambil berkata,
"Mbah... mbah... kok meneng wae tho?"
Pada saat itu aku tahu, simbah sudah berpulang. Janjinya untuk hidup di dunia selama 87 tahun ini sudah terpenuhi. Aku ikhlas, namun tangisku tetap pecah. Untuk terakhir kalinya, segera
kukecup dahi dan kedua pipinya yang masih hangat, dan wangi tentu saja.
|
senyum simbah sekarang, pasti lebih semringah dari yang di foto ini (dok. Pramudito) | |
Aku yakin, simbah tenang di sana. Simbah telah menemukan tempatnya yang indah. :')
***