Perang Bharatayudha telah berakhir, banyak yang berguguran di pihak Kurawa, pun Pandawa. Yudhistira baru saja menyelesaikan persembahan kepada putra-putra Drupadi dan yang lainnya.
Keadaan Kunti sangat menyedihkan. Tiga hari yang lalu, Radheya gugur di tangan Arjuna, terjadi perayaan yang meriah di kubu Pandawa, ia mendengarnya dari Sanjaya.
Hari ini, Kunti melihat jenazah putra pertamanya, ia berjanji tak akan membuat dirinya pingsan.
Krishna hanya memandang sesaat. Ia memandang Radheya dan ia melihat istrinya menangisi suaminya. Ia melihat itu semua dan masih saja tidak berkata apa-apa.
Sekarang pada akhir kejadian ini, Kunti berjalan bersama mereka, semua melihat persembahan air suci di tepi sungai suci Gangga. Gangga yang sama, Gangga yang telah mengambil anaknya beberapa puluh tahun silam. Gangga masih mengalir dengan tenang seperti pada hari yang tidak bisa ia lupakan, saat menghanyutkan kotak kayu di sungai itu.
Radheya tidak memiliki putra yang bisa melakukan upacara untuknya. Mereka semua sudah tewas. Radheya masih saja anak yatim, sama seperti di saat ia membuangnya. Hati Kunti seakan-akan meledak karena kesedihan yang mendalam, ia terbakar karena penyesalan diri, karena ketidakadilan yang telah dilakukannya kepada anak sulungnya. Ia setidaknya harus melakukan hal ini bagi Radheya.
Sekarang, Kunti akan melakukan sesuatu yang akan membuat pucat pada semua wajah anak-anaknya. Ia mendekati Yudhistira dan meletakkan tangannya pada punggung Yudhistira.
“Ya, Ibu, ada apa? Mengapa kau memanggilku?”
Kunti harus menelan segala kesedihan agar tidak keluar dari bibirnya, “Masih ada orang yang tersisa. Kau harus membuat persembahan ini untuknya juga.”
Krishna satu-satunya orang yang tahu, melihat Kunti dengan welas asih di matanya.
”Satu orang lagi? Aku tidak mengerti. Aku ingat orang-orang yang tewas dengan baik, pastilah aku tidak akan lupa pada orang telah mati untukku. Siapakah orang yang harus mendapat persembahan ini?”
“Radheya-lah orangnya. Kau juga harus membuat persembahan untuknya…”
“Tetapi Ibu, mengapa aku harus melakukannya untuk Radheya? Ia seorang sutapura. Aku seorang ksatriya. Mengapa kau memintaku untuk melakukannya, Ibu?“
Sesaat berlalu, Kunti diam dengan segala kesedihan di hatinya, ia mengambil nafas dalam dan berkata, “Yudhisthira, kau harus melakukannya. Radheya bukan seorang sutaputra, dia seorang ksatriya."
“Aku sangat bingung dengan kata-katamu, bagaimana kau tahu ia seorang ksatriya. Mengapa aku harus mempersembahkan air suci untuk Radheya. Katakan padaku, siapa ayah Radheya sebenarnya?”
“Radheya adalah putra Surya. Ibu kandung Radheya adalah seorang gadis kecil. Surya memberi putra ini kepadanya. Ia terlahir dengan kavaca dan kundala. Ibunya takut dengan hinaan dunia. Kau tahu, bahwa ia seorang gadis yang berada di rumah ayahnya. Ia harus menyimpan rahasia ini. Ia meletakkan anak pada kotak kayu dan menghanyutkannya pada sungai ini, Gangga. Anak ini dipungut Adirata dan menyerahkannya kepada isterinya Radha, karena itulah disebut Radheya, dan itulah nama yang sangat dicintainya. Ibunya adalah seorang ksatriya. Ia telah melakukan ketidakadilan kepada putra pertamanya. Ia memiliki beberapa orang anak tetapi hatinya kosong karena ini.”
Yudhistira dan yang lainnya takjub mendengarkan cerita ini, segalanya terlupakan, ”Ibu, siapakah ibu Radheya? Ibu yang keji yang membuang anaknya di sungai Gangga ketika ia lahir? Kau pasti mengenalnya karena kau menceritakan kejahatan dengan lengkap. Siapakah, Ibu?”
Semua mata memandang Kunti, Kunti memandang mereka semua. Ia melihat Krishna yang memandangnya dengan mata penuh belas kasihan. Kunti memandang dengan tepat pada mata Yudhistira dan berkata, “Wanita itu masih hidup. Akulah wanita itu. Radheya adalah putraku, putraku yang pertama!” Kunti jatuh dan tak sadarkan diri.
Yudhistira tidak bisa memikirkan itu semua. Ia berdiri memandang mereka semua, ia terus menggumam, “Radheya adalah kakakku dan kami telah membunuhnya…”
Arjuna segera berlari ke arahnya dan menangis, ”Apa yang telah aku lakukan, Tuhan? Apa yang telah aku lakukan? Bagaimana aku bisa hidup setelah semua yang telah terjadi? Aku telah membunuh kakakku. Kakakku, aku telah membunuhnya!”
Arjuna tidak mampu berdiri. Lalu ia duduk di tanah dan berteriak, ”Aku telah membunuh kakakku, dan aku telah berbangga karena aku telah membunuhnya!”
Krishna dan Yudhistira mendekatinya. Arjuna bergetar seperti orang demam, matanya merah. Bhima duduk di samping Arjuna, ia juga sangat terkejut. Ia seperti seorang anak kecil yang tiba-tiba menjadi tua.
Pandawa memberi hormat penuh kesedihan. Kunti disadarkan dengan percikan air. Untuk pertama kali, Yudhistira tidak memperhatikan ibunya. Ia tidak bisa melihat ketidakadilan ini pada Radheya dan pada Pandawa. Ia pergi dan duduk bersama Arjuna dan Krishna.
Yudhistira memalingkan wajah pada ibunya, seraya bertanya, “Apakah Radheya tahu hal ini? Apakah ia tahu siapa dirinya?”
“Ya,” kata Krishna
Yudhistira mengalihkan matanya kepada Krishna, semua Pandawa melihat Krishna.
“Apakah kau tahu mengenai hal ini, Krishna?” tanya Yudhistira
“Ya.”
Tidak memungkinkan bagi mereka untuk berkata sepatah kata pun setelah itu. Radheya tahu, bahwa dirinya putra Surya dan Kunti, dan ia membiarkan saudaranya menghinanya dengan 'sutaputra'. Yudhistira memukul kepalanya sendiri sambil berkata, ”Ketika aku mendengar Radheya tewas, aku berlari ke medan perang untuk melihat apakah benar-benar ia tewas, aku sangat bahagia melihat dirinya tewas. Ibu, bagaimana kau tega melakukan hal ini kepada kami, mencintai kami seperti yang engkau lakukan?”
Yudhistira pergi dan berdiri di tepi sungai Gangga, seakan-akan persembahan air suci untuk Radheya telah terbayar karena airmata Yudhistira.
Narada berbicara pada Yudhistira, “Mengapa engkau sangat sedih? Dengan berkat Krishna dan bantuan saudara-saudaramu yang pemberani kau menjadi penguasa dunia! Tahun-tahun penderitaan berakhir. Aku bahagia dan memberi selamat atas keberhasilanmu.”
Kesedihan Yudhistira muncul, ia berkata, “Tuanku, aku tidak ditakdirkan untuk bahagia. Semua kebahagiaan yang seharusnya milik kami, hilang. Karena kami diberitahu bahwa Radheya adalah saudara kami. Mengapa engkau membiarkan hal ini terjadi? Aku pernah sangat marah pada Radheya. Aku memalingkan mataku padanya. Aku melihat kakinya, semua kemarahanku hilang. Aku tidak bisa marah padanya. Kakinya seperti kaki ibu kami. Aku sangat penasaran dengan kesamaan ini. Selama bertahun-tahun aku mencoba menyelesaikan permasalahan ini. Guru, ketika aku mengetahui sekarang, mengapa kaki Radheya mirip kaki ibuku, hatiku hancur berkeping-keping. Bagaimana aku bisa bahagia setelah pembunuhan terhadap yang agung seperti dirinya. Radheya seharusnya menjadi penguasa kerajaan Kuru. Aku tidak bisa menghibur diriku lagi.”
|
lukisan saat arjuna menyerang radheya yang tak berdaya (sumber gambar) |
|
“Ibuku memberitahu, bahwa Radheya memberinya anugerah yang ia inginkan. Radheya mengatakan bahwa ia tidak akan membunuh Pandawa yang lain kecuali Arjuna. Ia harus bertarung dengan Arjuna. Aku sekarang menyadari mengapa ia tidak membunuh Bhima pada saat Jayadrata kalah. Ia mengampuni Bhima, ia pergi tanpa membunuhnya. Malam itu, ia bertarung dengan Sadewa. Hari berikutnya, Nakula. Pada hari terakhir dalam hidupnya, ia bertarung denganku. Kami dibiarkan hidup. Ia tidak membunuh kami , karena ia tidak mau melakukannya. Betapa baik dan mulia saudara yang kami miliki. Dan, Arjuna telah membunuhnya ketika ia tidak siap untuk bertarung. Aku tidak bisa mengampuni diriku karena kebiadaban ini. Kami telah menjadi orang yang paling jahat dalam pertempuran ini.”
Narada menenangkan hatinya. Hal ini membuat Pandawa makin sedih, cerita ini membuat mereka kian rendah diri. Ini membuat mereka menyadari bahwa jalan Tuhan sangat misterius. Tetapi kesedihan tidak pernah meninggalkan hati Yudhistira. Ini adalah luka baru yang tidak akan pernah dapat disembuhkan.
Yudhistira tidak pernah bisa memaafkan ibunya, karena ketidakadilan yang ia perbuat terhadap Radheya dan juga pada mereka semua.
“Ibu telah membohongi kami semua, dengan menyimpan rahasia itu dari kami. Engkaulah yang menyebabkan dosa besar ini. Semoga mulai saat ini, kaum wanita takkan bisa lagi memegang rahasia...”
***