Nostalgila di Pasar Malam Sekaten Yogyakarta
Tak terasa, agenda tahunan kota Jogja untuk memperingati kelahiran Nabi Besar Muhammad SAW tiba kembali. Event budaya bernama Sekaten tersebut selalu diawali dengan PMPS (Pasar Malam Perayaan Sekaten) yang biasanya digelar selama 35-40 hari.
Sedangkan prosesi Sekaten-nya sendiri hanya berlangsung selama lima hari, yaitu mulai dari dikeluarkannya gamelan pusaka milik keraton (miyos gongso) untuk dibawa ke pelataran Masjid Gedhe dan dibunyikan selama lima hari, hingga prosesi pengembalian ke dalam keraton lagi (kondur gongso), dan keesokan harinya dilaksanakan Upacara Garebeg Mulud. Perayaan tersebut menekankan pelestarian budaya
tradisional dan religi yang merupakan warisan sejak masa Kerajaan Islam Demak.
Maulid Nabi jatuh pada tiap tanggal 12 Rabiul Awal tahun Hijriyah
atau bulan Mulud tahun Jawa, yang dalam kalender Nasional kali ini jatuh
pada pertengahan Januari 2014. Itu berarti proaesi Sekaten masih sekitar 1,5
bulan lagi.
Meski begitu, pemasangan pathok pertama untuk PMPS sudah
dilakukan sejak 5 November 2013 secara simbolis oleh perwakilan keluarga Keraton Jogja, G.B.P.H. Hadiwinoto dan G.B.P.H. Prabukusumo. Pathok dipasang di antara dua pohon beringin depan Pagelaran. Selain itu, Walikota Jogja Haryadi Suyuti pun turut memukul pathok. Untuk peresmian/pembukaan PMPS sendiri, akan dilaksanakan
pada 6 Desember 2013 mendatang.
pemandangan sebelum memasuki pasar malam (dok. pribadi) |
Sama seperti tahun sebelumnya, PMPS tahun ini tak dipungut biaya masuk. Meski belum dibuka secara resmi, namun pengunjung yang datang sudah lumayan banyak, apalagi
bertepatan dengan musim liburan. Hampir setiap hari aku melewati
Alun-Alun Utara saat akan berangkat atau pulang kerja. Setiap hari
memandang membuatku rindu pada masa kecil yang tak pernah absen
datang ke pasar malam.
Akhirnya, sore kemarin (28/11) aku berkesempatan "jalan-jalan" ke
PMPS. Awalnya tak berniat ke sana, namun ketika sepulang dari
menghabiskan sore di kawasan toko buku kompleks Taman Pintar, tanpa sengaja aku menengok ke langit bagian barat dan menemukan pertanda akan datangnya senja yang sangat cantik.
Aku pun merasa sayang sekali kalau senja secantik itu dilewatkan begitu saja. Jadilah, aku pulang jalan kaki.
Itu berarti melewati Alun-Alun Utara, karena rumahku masih berada
dalam benteng Keraton Jogja. Petang itu aku mengitari area
PMPS, sudah banyak stand yang didirikan, mulai dari penjual pakaian, makanan, pernak-pernik, semua ada. Berbagai
macam wahana permainan pun sudah bisa dijajal.
bianglala, arum manis. hmm... (dok. pribadi) |
Berada di pasar malam, otomatis membuatku terkenang akan
masa lalu, lebih tepatnya masa kecil. Masih terekam dengan jelas saat dulu bersama adek-adek naik bianglala, komidi putar, ombak banyu,
dll. Kemudian memperhatikan kapal otok-otok yang banyak dijual di sana,
bukan membelinya, melainkan hanya melihat saat dijalankan oleh penjualnya.
Yang tak bisa dilupakan lagi adalah suara berisik motor dari dalam "tong
setan" dan suara seram dari dalam "rumah hantu". Aku juga masih belum
melupakan badut Chiki yang di masa kecil begitu kutakuti, sayang
sekarang sudah tak ada.
kapal otok-otok yang legendaris (dok. pribadi) |
Berjalan semakin jauh, ingatanku beranjak ke masa remaja, dulu
sering sekali ke pasar malam hanya untuk menemani ibu berburu baju-baju
sisa impor yang murah-meriah―warga Jogja biasa menyebutnya dengan awul-awul. Aku suka pada bagian ketika harus ikut
mengawul-awul atau mengobrak-abrik baju yang bertumpuk-tumpuk itu.
Tak ketinggalan juga dulu kadang menyaksikan sirkus. Dan, yang paling kuingat serta kangeni adalah hal yang sampai saat ini masih selalu kuikuti,
yaitu prosesi Sekaten-nya itu sendiri. Menikmati alunan gamelan sambil
makan sego gurih, sego nggeneng, atau endog abang di pelataran Masjid
Gedhe yang terletak di sebelah barat alun-alun.
Kembali ke petang kemarin, ada sesuatu yang menghentikan langkahku, ialah stand yang menjual berbagai macam boneka. Mulai dari boneka yang besarnya sekepal tangan hingga yang ukurannya dua kali manusia ada. Aku penasaran apakah ada boneka pinguin yang kuidamkan sejak dulu. Nyatanya, setelah aku ubek-ubek, tak kutemukan boneka burung laut yang unyu itu.
Alun-alun sudah seperti tempat wisata dadakan saja. Banyak orang tua
mengajak anak-anaknya untuk sekedar makan sambil bermain atau
memang berkepentingan ingin membeli sesuatu dengan harga yang lebih
murah dari biasanya. Selain itu, rombongan wisatawan dari luar kota pun
ada yang menyambangi. Berbagai macam permainan yang sudah ada misalnya
saja, bianglala, kereta mini, komidi putar, dan sebagainya sudah menjadi
tempat jujugan bagi anak-anak.
Namun ternyata, di bagian belakang masih ada beberapa space yang
kosong. Sepertinya akan dibangun untuk pameran yang diadakan oleh pemerintah kota dan kabupaten, karena ditilik dari fondasinya bentuknya seperti rumah.
Berjalan ke selatan lagi, ada sesuatu yang kembali menarik hati, yaitu sebuah sepeda motor yang sudah difungsikan mirip gerobak dan
berbagai macam sticker tertempel di sisi-sisinya. Itulah penjual es
goreng yang oleh kawan-kawan sering disebut magnum ndeso.
Penjualnya bernama Pak Gatot, bagi yang tinggal di Jogja pasti sudah
mengenal siapa Pak Gatot, karena ia hampir selalu ada di tempat-tempat
keramaian. Pak Gatot selalu memberikan sapaan unik pada setiap
pembelinya, contohnya saja ketika aku menghampirinya, ia langsung
menyapa, “Silakan, Ladies, mau beli berapa?” Padahal, aku tak ingin membelinya. :))
es goreng pak gatot yang sangat kondang di jogja (dok. pribadi) |
Serasa ada yang kurang, menjelajah pasar malam tanpa menemukan stand untuk pertunjukan lumba-lumba dan sirkus. Ya, tahun ini kedua pertunjukan tersebut memang tak ikut memeriahkan gelaran PMPS. Baguslah, mungkin hal tersebut dikarenakan pada akhir tahun lalu ada aksi demo dari aktivis perlindungan hewan Jakarta Animal Aid Network (JAAN) dan Animal Friends Jogja (AFJ) yang menuntut pada Gubernur DIY agar memberhentikan dua pertunjunkan tadi.
Asyik blusukan, tanpa terasa hari sudah menuju malam. Sebelum meneruskan
perjalanan untuk pulang, sejenak aku menikmati senja yang tersisa petang itu. Meski hanya sekitar satu jam, rasa kangenku pada pasar malam sudah terobati. Aku hanya mengeluarkan uang Rp3.000,00 untuk jajan bakso tusuk dan pop ice yang diblender trus dihargai Rp5.000,00 *mahal banget*.
Oiya, sudah terobati bukan berarti aku sudah puas,
karena besok saat PMPS sudah resmi dibuka, aku pasti kembali lagi, tentunya nggak sendirian lagi, dong. Jalan-jalan
sendiri memang mengasyikkan bagiku, tapi tetap saja... semacam orang gila atau orang hilang.
***