Berburu Tiwul dan Kawannya
Musim hujan memang mampu membangkitkan semangat atau keinginan untuk terus mengunyah. Lebih mudahnya disebut hasrat ingin ngemil atau blangkemen kalau dalam bahasa Jawa. Mungkin hal tersebut memang sudah naluri setiap manusia. Dan imbasnya bagiku yang doyan ngemil juga adalah pemborosan! Gimana gak boros kalau setiap pulang kerja sore hampir selalu mampir untuk membeli jajanan; entah itu terang bulan, singkong keju, gorengan, atau yang paling terbaru dilakukan yaitu jajan tiwul dan kawan-kawannya.
Lho?! Memangnya ada yang jual tiwul di sore hari? Bukannya tiwul cuma ada di pasar-pasar tradisional yang buka saat pagi? Atau mungkin belinya di Yu Tum yang ada di Wonosari itu? Hellooo... ngapain beli tiwul sampai jauh-jauh ke sana? Hehehe... Yak, untuk para penggemar tiwul beserta kawannya si gatot, ada kabar baik nih! Sebenarnya yang ingin aku bagi ini bukanlah kabar baru, tapi siapa tahu ada dari kalian yang belum ngeh. :D
Jadi begini, beberapa hari lalu pada siang menjelang sore yang mendung *ciyeee bahasanyaaa...* tiba-tiba aku ngidam dengan yang namanya tiwul dan gatot. Tapi mau beli di mana? Akhirnya, teringat ibu yang pernah bercerita kalau di utara Tugu ada seorang simbah berjualan makanan tradisional yang berbahan dasar singkong tersebut. Dan bukan sembarang berjualan, tiwul dan gatot buatan simbah tersebut nyata enaknya. Ya, ibu memang pernah membelikannya untuk kami anak-anaknya.
Sorenya, sepulang kerja aku pun mampir ke sana. Ketika itu hampir pukul lima dan ternyata penjualnya baru persiapan membuka lapak, dan asal tahu saja... yang mengantri sudah banyak. Sempat mengurungkan niat saat melihat banyaknya antrian, namun kemudian luluh juga begitu melihat ada si cenil yang centil melambai-lambai minta dibeli juga. :)) Ternyata lagi, lapak simbah tersebut begitu kecil di trotoar dekat jalan masuk menuju Pakuningratan.
Sebelumnya aku pernah mencari lapaknya bersama seorang kawan, tapi hasilnya nihil. Sampai bolak-balik di sepanjang Jl. AM. Sangaji, tak ketemu juga lapak yang dimaksud, padahal sebelumnya ibu sudah memberikan ancer-ancer dengan jelas. Usut punya usut, ternyata saat itu memang sedang tidak berjualan. Ah, untung beberapa hari lalu aku tak sial seperti pengalaman pertama.
Hasil bersabar menunggu antrian; didapatlah dua bungkus tiwul, sebungkus gatot, dan sebungkus cenil yang pada awalnya tak niat dibeli. Masing-masing harganya 2.500 rupiah, jadi jajan sore itu bertotal 10.000 rupiah.
Saat aku meninggalkan lapak, masih saja banyak orang berkerumun yang menjadikan lapak kecil itu semakin tak nampak. Jadi bagaimana para penggemar tiwul, gatot dan juga cenil; tertarik untuk mencoba buatan simbah yang punya lapak di utara Tugu? Rasanya tak kalah lho dibandingkan dengan buatan Yu Tum―menurutku malah lebih enak. :P
Oh iya, bagi yang tertarik mencobanya, berikut ini adalah ancer-ancernya: Tugu Pal Putih ke utara (Jl. AM. Sangaji), terus nanti ada lapak kecil di depan semacam toko kelontong yang terletak di trotoar sebelum belokan ketiga di sebelah barat jalan (Jl. Pakuningratan). Di situlah simbah berjualan, pokoknya cari saja lapak yang banyak dikerumuni orang. Selamat mencari dan mencoba! :)