Percikan: Jangankan Hujan...
Pelataran di tengah padang rumput itu masih basah. Basah oleh hujan yang mengguyur kota sedari subuh. Dari kejauhan berderet rapi para prajurit―abdi budaya. Hari itu memang sedang berlangsung sebuah upacara adat yang rutin diadakan saat-saat tertentu. Sama seperti pelataran yang mereka pijak, baju yang mereka kenakan pun masih terlihat basah―semacam baju yang telah dicuci, namun belum kering betul.
Masih dari kejauhan, nampak tombak-tombak yang seolah hendak menusuk langit abu-abu, bedil-bedil pun terarah pada angkasa yang begitu muram. Gerimis kecil menggantikan deras hujan yang mungkin mulai kelelahan.
Doorrr dooorr dooorrr...!!
Sedetik dua detik terdengar letusan yang keluar dari moncong bedil-bedil tadi. Tak lama kemudian lima buah gunungan berarak melewati pelataran menuju tempat suci.
Di balik barisan prajurit berseragam merah, samar-samar terdengar sebuah percakapan antara perempuan dengan salah satu prajurit.
"Tadi pagi juga hujan-hujanan, Pak?"
"Iya, Mbak, bahkan dari rumah sudah kehujanan."
"Oh, saya kira karena hujan terus ditunda."
"Nggak, Mbak, ya terus saja seperti biasanya. Klebus tidak masalah," prajurit itu menjawab dengan bahu sedikit berguncang karena tawa.
"Saya biasanya mengikuti arak-arakan prajurit dari Magangan, Pak, tapi karena dari pagi hujan, saya langsung ke sini, mumpung reda," kata perempuan itu sambil terkekeh juga.
Mendengarnya, prajurit tersebut hanya tersenyum. Senyum yang seperti menyimpan jutaan makna. Ya, bodohnya perempuan yang bertanya kepadanya. Seharusnya perempuan itu tahu, prajurit tak mengenal kata takut. Zaman dahulu, jangankan hujan, musuh pun akan dihadapinya hingga titik darah penghabisan. Itulah pengabdian...