Percikan: Protes
(monolog dalam sebuah hati....)
yang ini bukan mulutku… (uncrate.com) |
Aku tak bisa menerima, aku protes. Dulu aku dan warga lain lah yang membuka lahan yang menjadi tempat tinggalku saat ini. Tapi kini mengapa mereka seenaknya saja ingin mengambil lahan ini secara paksa. Mengapa tak dari dulu saja lahan ini diambil, sebelum kami datang dan saat permukiman ini berupa tanah pekuburan, ini benar-benar tak adil.
Aku frustasi, ingin ikut berdemo tapi tak bisa, aku gagu. Tiba-tiba muncul ide cemerlang di kepalaku. Karena permukiman ini dulunya merupakan tanah pekuburan, aku akan menunjukkan protesku dengan cara mengubur badanku hingga sebatas leher di depan rumah. Malam-malam aku mengubur diri dibantu olah istri dan anak-anakku.
Jurusku tak mempan. Keesokan harinya, puluhan satpol pp kembali datang ke permukiman kami. Kali ini mereka tak kenal ampun, dirubuhkannya rumahku dan rumah-rumah lainnya, dilemparkannnya barang-barang kami. Mereka tak peduli pada teriakan dan tangisan para wanita dan anak.
Hari selanjutnya, istri dan anak-anakku masih menangis dan berteriak-teriak. Mereka pun pergi entah ke mana, meninggalkanku yang masih terkubur. Tak ada bantuan untuk melepaskan diri dari rendaman tanah ini. Sampai akhirnya lahan ini dibangun untuk lapangan golf, aku masih tetap di sini. Dengan wajah terbakar matahari, mulut menganga karena haus dan lapar, aku masih terus bertahan. Aku ingin teriak, namun tak bisa.
Ketika lapangan golf dibuka untuk pertama kali, kulihat di kejauhan berbondong-bondong para eksekutif menuju lapangan. Ya, mereka akan bermain golf. Dan tahukah apa yang mereka lakukan? Berulang kali mereka mengarahkan bolanya ke arahku, agar masuk ke dalam mulutku. Mulutku yang menganga ini.
Aku frustasi, ingin ikut berdemo tapi tak bisa, aku gagu. Tiba-tiba muncul ide cemerlang di kepalaku. Karena permukiman ini dulunya merupakan tanah pekuburan, aku akan menunjukkan protesku dengan cara mengubur badanku hingga sebatas leher di depan rumah. Malam-malam aku mengubur diri dibantu olah istri dan anak-anakku.
Jurusku tak mempan. Keesokan harinya, puluhan satpol pp kembali datang ke permukiman kami. Kali ini mereka tak kenal ampun, dirubuhkannya rumahku dan rumah-rumah lainnya, dilemparkannnya barang-barang kami. Mereka tak peduli pada teriakan dan tangisan para wanita dan anak.
Hari selanjutnya, istri dan anak-anakku masih menangis dan berteriak-teriak. Mereka pun pergi entah ke mana, meninggalkanku yang masih terkubur. Tak ada bantuan untuk melepaskan diri dari rendaman tanah ini. Sampai akhirnya lahan ini dibangun untuk lapangan golf, aku masih tetap di sini. Dengan wajah terbakar matahari, mulut menganga karena haus dan lapar, aku masih terus bertahan. Aku ingin teriak, namun tak bisa.
Ketika lapangan golf dibuka untuk pertama kali, kulihat di kejauhan berbondong-bondong para eksekutif menuju lapangan. Ya, mereka akan bermain golf. Dan tahukah apa yang mereka lakukan? Berulang kali mereka mengarahkan bolanya ke arahku, agar masuk ke dalam mulutku. Mulutku yang menganga ini.