Kisah ini diambil dari Udyoga Parva, setelah Krishna gagal menjadi Duta Perdamaian guna mencegah perang Pandava dengan Kaurava.
Kunti begitu gelisah setelah usaha damai yang ditempuh menemui jalan buntu, berarti perang sebentar lagi akan pecah, pasukan raja-raja di seluruh dunia telah menuju Kurukshetra. Namun yang ada dalam benak Kunti adalah Radheya (Karna), kebencian Radheya terhadap Pandava terutama Arjuna melebihi kebencian Duryodhana terhadap Pandava. Kunti pun berniat menemui putra tertuanya itu dan memberitahu sejatinya Radheya.
Radheya baru saja selesai melakukan Surya Sewana (pemujaan terhadap Dewa Matahari). Radheya telah terkenal dengan kemurahannya bahwa setiap selesai melakukan Puja tersebut, ia akan memberikan anugerah kepada siapapun yang datang dan meminta kepadanya.
Di Tepi Sungai Gangga
Saat berbalik Radheya melihat seorang wanita duduk berteduh di bawah pohon, Radheya pun menghampirinya, karena sesuai kebiasaan bahwa orang yang menunggunya melakukan Puja adalah orang yang akan meminta berkahnya lalu membungkuk hormat, “Salam Ibu, apa yang Ibu minta? Radheya menunggu perintahmu.”
Kunti hanya memandangnya dengan tatapan sedih, terkenang kembali ke masa lalu saat dia membuang Radheya begitu lahir dengan menghanyutkannya di sungai Gangga.
"Aku adalah Radheya, anak Adhirata, ibuku bernama Radha karena itu orang memanggilku Radheya, katakanlah Ibu apa permintaanmu?"
"Aku ke sini bukan untuk meminta anugerahmu, aku hanya ingin bertanya tidakkah kau mengenal siapa aku ?"
Radheya menatap wanita di depannya, mencoba mengingat-ingat, lalu sesuatu pun terlintas dalam pikirannya. Dadanya berdebar.
"Ini aneh, aku tidak tahu siapa dirimu, tapi aku merasa telah lama mengenalmu. Ya engkau adalah wanita yang selalu hadir dalam mimpiku."
"Maukah kau duduk di sampingku, dan menceritakan wanita impianmu?"
Radheya mendekat dan duduk di samping Kunti.
"Ini aneh, selama ini aku tidak pernah menceritakan tentang mimpiku ini kepada siapapun bahkan kepada ibuku Radha, tapi kenapa sekarang aku ingin menceritakan kepadamu, Ibu. Mungkin kau sudah tahu siapa aku, mungkin juga tidak. Aku adalah Radheya putra Radha, ayahku Adhirata kusir sang Raja. Tapi aku bukanlah anak ibuku, Radha. Ayahku memungut aku dari Sungai Gangga, dalam kotak kayu waktu aku bayi. Semasa kecil aku selalu bermimpi, seorang wanita cantik yang berpakaian layaknya putri raja datang padaku, dia selalu menangis dan sedih. Dalam mimpi aku bertanya, "Siapa engkau, Ibu? Mengapa kau menangis?" Wanita itu selalu menjawab, "Aku menangis dan sedih karena aku melakukan ketidakadilan ini padamu." Ketika aku bertanya, "Mengapa Ibu, mengapa kau lakukan ini padaku?" Dia hanya diam membisu hanya air mata yang menjawab semua pertanyaanku, lalu wanita itu akan menghilang dari pandanganku seberapa keras pun aku memanggilnya."
"Mimpi yang sama selalu terulang berkali-kali. Mimpi itu terus menghantuiku sampai aku remaja mimpi itu mulai berkurang, wanita itu semakin jarang menemuiku dalam mimpi, dan sampai sekarang dia tak pernah lagi menemui aku dalam mimpi. Ya, mungkin karena dia mulai lupa denganku atau dia sudah punya anak yang lain," lanjut Radheya.
"Kau salah anakku , wanita itu tidak pernah dan tidak akan bisa melupakanmu, meski dia sudah punya anak yang lain."
"Mengapa kau begitu yakin Ibu, seolah-olah kau mengetahuinya dan mengenal wanita dalam mimpiku?"
Dada Radheya semakin berdebar-debar, semakin lama dia memandang wanita itu dia semakin yakin kalau wanita di hadapannya adalah wanita yang hadir dalam mimpi-mimpinya.
Kunti pun menangis, dengan tersendat dia berkata, "Aku tahu siapa wanita dalam mimpimu, karena akulah wanita itu. Aku adalah Kunti, wanita yang melahirkanmu."
Kunti mencurahkan air matanya, perasaan yang dipendam selama puluhan tahun seakan ingin dia tumpahkan semua saat itu. Radheya diam mematung, tak percaya dengan apa yang dia dengar.
"Ah, mana mungkin. Kunti Ratu Hastina, ibu mulia dari lima pahlawan agung hari ini datang ke pada Radheya, dan mengaku sebagai ibunya. Mungkin aku sedang bermimpi, sebaiknya aku tidur lagi."
"Jangan lagi memanggil dirimu Radheya kau adalah Kaunteya putra Kunti, putra tertuaku. Mulai saat ini kau akan dikenal sebagai putraku."
"Tapi mengapa Ibu? Aku sudah mengetahui bahwa kau adalah ibuku, bahwa Radheya sebenarnya putra Kunti dan Bathara Surya, tapi mengapa baru sekarang kau datang padaku?"
"Bagaimana kau mengetahui bahwa aku adalah ibumu dan Surya adalah ayahmu?"
"Kemarin Krishna dengan rasa cinta kasihnya memberi tahu jati diriku yang sebenarnya. Tapi sudahlah Ibu, janganlah kita membicarakan hal yang berlalu. Hari ini aku begitu bahagia karena Ibu telah datang menemuiku, jadi jangan berkata apa-apa lagi."
Keduanya berpelukan dan menangis bersama, melepas kerinduan mereka selama ini, Radheya merebahkan kepalanya di pangkuan Kunti. Dengan lembut Kunti membelai rambut putranya yang 'hilang', mereka larut untuk sesaat dalam hening.
Beberapa saat berlalu, Radheya pun bangkit, "Terima kasih Ibu, Ibu telah memberikan saat-saat yang paling suci dalam hidupku, kini perintahlah Radheya."
"Tidak anakku, Ibu tidak memberimu perintah, tapi Ibu akan memintamu melakukan sesuatu."
"Katakanlah Ibu, apa yang harus aku lakukan."
"Ikutlah bersama Ibu ke Pandava, mereka adalah saudaramu, Ibu akan memberi tahu Yudhistira bahwa kau adalah putra tertuaku, hilangkan kebencianmu selama ini kepada Arjuna, berperanglah di pihak Pandawa yang pasti akan menang. Dunia akan melihat engkau bersatu kembali dengan saudara-saudaramu, mereka akan melihat dirimu bersatu dengan Arjuna. Di dunia ini siapa yang bisa mengalahkan kalian berdua, kalian akan jaya seperti Krishna. Menangkan perang ini, lalu perintahlah seluruh dunia karena kaulah pewaris tahta kerajaan. Yudhisthira akan menjadi Yuvaraja (Putra mahkota) dan memegang payung kebesaranmu, Arjuna akan menjadi kusirmu, Bhima akan menjadi kepala pengawal, sedangkan si kembar akan selalu setia melayanimu."
Radheya terdiam, betapa hidup ini penuh misteri, selama ini dia hidup dengan pandangan orang yang menilai rendah dirinya karena hanya seorang sutaputra , anak sais kereta. Namun dalam dua hari terakhir ini, dua orang mulia Krishna dan Kunti datang menawarkan dunia kepadanya. Godaan yang begitu besar, namun Radheya bergeming.
"Ibu, aku sangat ingin menuruti perintahmu, tapi aku tidak bisa."
"Mengapa, anakku? Aku akan mengakui pada dunia bahwa kau adalah putra tertuaku."
"Ibu, tidakkah kau mengetahui betapa aku membencimu, atas perlakuanmu padaku. Aku menyimpan kemarahan ini bertahun-tahun. Aku menderita karena kelahiranku. Namun ketika hari ini kau datang semua kemarahanku itu lenyap bagai butiran salju yang jatuh di gurun pasir yang tandus. Dunia mengenalku sebagai sutaputra, nama ini menodai kelahiranku yang sebenarnya, saat menginjak remaja aku bertanya pada ibuku Radha, "Ibu mengapa aku ingin sekali menjadi seorang pemanah bukan menjadi kusir kereta seperti ayah ?" Saat itulah aku mengetahui bahwa ibuku Radha bukanlah ibuku, namun cinta kasihnya melebihi cinta kasih seorang ibu kepadaku. Karena itu, aku bangga dengan nama Radheya, nama yang aku bawa sampai mati. Lalu aku pun berkelana, untuk menuntut ilmu memanah, namun tidak ada yang mau mengajariku. Drona menolakku karena aku adalah seorang sutaputra, nama yang melekat dan menyakiti hatiku ini semua karena ketidakadilanmu padaku."
"Kemudian aku menghadap Bhargawa (Parasurama), beliau mau mengajariku karena aku mengaku sebagai Brahmana, tetapi ketika beliau mengetahui bahwa aku bukan seorang Brahmana, beliau mengutukku bahwa aku akan lupa akan mantra yang sangat aku perlukan. Di samping itu seorang Brahmana mengutukku bahwa roda keretaku akan terbenam dan aku terbunuh pada saat aku tidak siap, seperti halnya sapi Brahmana itu yang aku bunuh. Saat aku kembali ke Hastina, saat itu adalah waktu perlombaan ketangkasan para Pangeran Hastina, jiwa pemanahku bergolak melihat kesombongan Arjuna yang bangga akan keahliannya," Radheya berbicara panjang lebar.
"Aku menantangnya, lalu semua orang tahu bahwa aku hanyalah seorang putra kusir, mereka menghina dan mencemoohkan aku terutama Bhima-mu yang tersayang, mereka menilai aku bukanlah lawan yang pantas bagi Arjuna. Saat itulah Duryodhana yang Agung datang padaku, mengakui aku sebagai sahabatnya dan mengangkatku sebagai Raja Anga. Duryodhana lah orang yang mengangkat derajatku saat semua orang merendahkanku, dia hanya meminta hatiku sebagai balasannya, dan mulai saat itu hatiku milik sang Raja, majikan sekaligus sahabatku, Pangeran Duryodhana."
"Ibu Tidakkah kau mengenalku saat itu? Aku yakin kau pasti mengenalku dari kavaca (baju pelindung) dan kundala (anting-anting) yang kukenakan, namun dengan alasan yang kau ketahui sendiri saat itu, Ibu diam membisu. Namun mengapa sekarang kau datang padaku? Di dunia ini hanya ada dua cinta terpenting bagi Radheya, cintaku kepada ibuku Radha dan cintaku kepada sahabat sejatiku, Duryodhana. Aku tak pernah dan tak berani berpikir akan ada cinta yang lebih agung datang dalam kehidupanku. Aku tidak bisa meninggalkan Duryodhana untuk bergabung dengan saudara-saudaraku yang baru aku temukan sesuai dengan permintaanmu Ibu," masih lanjut Radheya.
Dengan berlinang airmata Kunti bertanya, "Mengapa anakku?"
Terdengar suara dari langit, Surya Dewa Matahari berkata, "Anakku turutilah kemauan Ibumu, bergabunglah dengan Pandawa."
Radheya tetap bergeming, "Ibu, aku terikat jalinan jutaan untai benang dengan sahabatku Duryodhana, satu-satunya orang di dunia ini yang menjadikan aku sahabatnya tanpa peduli aku seorang sutaputra, bergantung kepadaku dia telah memulai perang ini, dunia mengenalku sebagai sahabat sang Raja. Duryodhana malah ingin berbagi singgasana yang sama denganku, aku tidak bisa memungkiri kebahagiaanku melewati hari hari bersama sang pangeran. Namun kini Ibu datang padaku dengan cinta yang membuat temaram cinta yang aku ketahui selama ini. Aku akan tetap berada disamping Duryodhana untuk melunasi hutangku, hutang cinta dan terima kasih adalah hutang yang sangat sulit untuk dibayar. Katakanlah Ibu, begitu agungkah cinta seorang ibu hingga membuat aku begitu bimbang, tapi Radheya tidak akan mengubah pendiriannya. Sekarang janganlah berkata apa-apa lagi, aku tidak ingin menyakitimu dengan kata kataku."
Radheya menutup kedua matanya dan menangis. Kunti tertunduk lemas, air matanya bercucuran tak terhingga, mereka kembali berpelukan dalam tangis. Sesaat kemudian Radheya melepaskan pelukannya.
"Ibu, tangisan ini tidak baik untukku, seorang Ibu hanya boleh menangisi anaknya yang sudah mati, aku akan tetap bersama sahabatku dan aku mengetahui akhir hidupku. Aku tahu bahwa kami semua yang berpihak pada Duryodhana akan dikirim ke alam Yama (kematian), kami akan kalah, aku mengetahui itu, Ibu. Namun jalan satu-satunya orang hidup di dunia ini adalah mengukir nama baiknya, kemasyhuran. Jika aku bergabung dengan Pandava, aku akan kehilangan namabaik yang telah aku ukir selama ini, apapun takdir yang telah ditetapkan, seseorang tidak boleh menyerah untuk mempertahankan dan mencari nama baik dan kemasyhuran, itulah jalan yang aku tempuh selama ini, aku menginginkan nama baik."
"Ibu, restuilah aku. Berikan aku anugerah, bahwa namaku akan diingat sepanjang manusia masih hidup di dunia ini, kemahsyuranku akan abadi sepanjang sejarah."
Dengan hati yang hancur lebur Kunti merestui permintaan Radheya, putranya.
"Terima kasih, Ibu. Namun ini tidaklah benar, biasanya akulah yang memberikan anugerah kepada orang-orang yang datang padaku setelah aku selesai memuja Surya. Kini aku akan memberimu anugerah yang setara dengan permintaanmu sesuai dengan kemampuanku, engkau menginginkan hatiku, tapi hatiku bukan milikku. Hatiku milik sahabatku Duryodhana. Engkau akan tetap memiliki lima putra. Yudhistira, Bhima, Nakula dan Sahadeva tidak akan aku bunuh dalam perang, mereka tidak akan mati di tanganku. Tapi tidak dengan Arjuna, pertarungan di antara kami harus terjadi. Itulah satu-satunya cara untuk melunasi hutang kepada sahabatku Duryodhana. Namun bagaimanapun hasilnya, kau akan tetap punya lima putra. Dengan aku tanpa Arjuna, ataupun dengan Arjuna tanpa Radheya, putramu tetap lima, itulah anugerahku."
Radheya menghela nafas panjang, dengan tatapan sedih Kunti memandangnya.
"Tetapi ibu, aku tahu, Arjuna akan tetap bersamamu. Di bawah lindungan Krishna, Pandava akan aman seperti bayi dalam rahim ibunya, mereka akan selamat melewati perang besar ini. Sedangkan kami yang memihak Duryodhana sudah dikutuk, kami akan mati. Engkau mungkin sudah mengetahuinya, Ibu. Aku juga telah dikutuk, guruku Bhargawa Parasurama telah mengutukku, bahwa aku akan melupakan mantra senjata yang aku perlukan disaat saat genting. Lalu seorang Brahmana mengutukku, bahwa roda keretaku akan ditelan bumi dan aku dibunuh oleh musuh saat aku tidak siap. Selain dua kutukan itu, Bathara Indra telah meminta kavaca dan kundala, yang akan melindungiku dari kematian."
"Hari kemarin Krishna datang dengan cinta yang agung menggoyahkan perisai hatiku dan hari ini kau datang dengan kasih seorang Ibu yang kau hempaskan dan menghancurkan perisai hatiku. Satu-satunya senjataku untuk melawan Pandava adalah kebencianku, kini semuanya telah hancur, bagaimana aku bisa berhadapan dengan Arjuna yang kini di mataku adalah seorang anak kecil yang mengulurkan tangannya dengan penuh cinta? Ibu katakanlah, dengan semua itu bagaimana aku bisa selamat dari perang?”
Kini mata Radheya terang tanpa air mata, dengan suara pelan meyakinkan Kunti, “Ibu, janganlah sedih, apa yang sudah digariskan oleh para Dewa tidak ada yang bisa mengubahnya, tidak juga cintamu yang agung, aku harus bertarung dengan Arjuna dan aku akan mati ditangannya. Sekarang pulanglah Ibuku sayang, jangan sampai ada orang yang melihat kau datang menemuiku, biarlah dunia tetap menganggapku sutaputra, tapi dirimu dan aku tahu bahwa Radheya adalah putera Kunti dan Surya, biarlah rahasia kelahiranku lenyap bersama kematianku."
Tubuh Kunti begitu lemas, Radheya berkali-kali harus memapahnya, dia telah kehilangan putranya selama ini dan setelah menemui Radheya dia semakin kehilangan. Pertemuan mereka hanyalah kebahagiaan sesaat seperti sinar kilat menyambar, lalu lenyap saat Dunia masih gelap. Kunti dengan segala kegetiran meninggalkan Radheya, putranya yang mulia...
***
*Sumber: Kumpulan Dongeng & Cerita Rakyat (Facebook), oleh R. Hutami