Just Share: Mbah Maridjan dalam Kenangan
Mbah Maridjan dalam pakaian abdi dalem Kraton Jogja (fotolangka.blogspot.com) |
Mbah Maridjan wafat di gunung yang sejak 40 tahun lalu selalu ia jaga dengan baik. Keberanian tokoh taat beribadah dalam menjaga Gunung Merapi ini, contoh langka sebagai pemimpin masyarakat kecil yang amanah.
Saat ini, jenazah Mbah Maridjan disemayamkan di RS Sardjito, Sleman, Yogyakarta, Rabu (27/10). Sebelumnya, tim evakuasi menemukan Mbah Maridjan wafat dalam posisi sujud.
"Ditemukan di kamar, posisinya sujud," kata anggota Tim SAR, Suseno, saat ditemui di RS Sardjito.
Lokasi kediaman Mbah Maridjan di Kinahrejo, Umbulharjo, Cangkringan, Sleman hanya berjarak lima kilometer dari puncak letusan Gunung Merapi. Hal ini sangat mengancam keselamatan Mbah Maridjan.
Sebagai juru kunci, Mbah Maridjan memang tak pernah mau meninggalkan Gunung Merapi. Lelaki renta berusia 83 ini pernah mengatakan, "Kalau saya ikut ngungsi akan ditertawakan anak ayam."
Mbah Maridjan yang bernama asli Mas Penewu Suraksohargo, ini lahir di Dukuh Kinahrejo, Desa Umbulharjo, Cangkringan, Sleman pada 1927. Ia mendapat amanah sebagai juru kunci dari Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Setiap Gunung Merapi akan meletus, warga setempat selalu menunggu komando dari beliau untuk mengungsi.
Ia mulai menjabat sebagai wakil juru kunci pada 1970. Jabatan sebagai juru kunci lalu ia sandang sejak 1982.
Sejak kejadian Gunung Merapi mau meletus pada 2006, nama Mbah Maridjan menjadi terkenal. Saat itu Gunung Merapi memang diperkirakan akan meletus dan menumpahkan lahar panasnya dalam hitungan hari.
Hiruk pikuk warga dan pemerintah terlihat dengan semakin meningkatnya status dan aktivitas gunung berapi paling aktif di dunia ini. Namun Mbah Marijan tetap tenang, seolah Merapi tak tengah mengancamnya.
Keberaniannya ini memunculkan spekulasi bahwa lelaki tua ini sangat sakti, memiliki 'ilmu' sangat tinggi sehingga puluhan tahun sudah mengemban tugas berat dari Sri Sultan untuk menjadi juru kunci Merapi. Padahal, Mbah Maridjan hidup seperti kebanyakan warga Gunung Merapi, tinggal di rumah sederhana, dan sesekali sepasang kakinya yang mulai rapuh mendaki Gunung Merapi.
Ia pun sering didapati sedang duduk berdzikir di masjid yang ada di depan rumahnya.
Mbah Marijan memang selalu tampil tenang. Ia tak menganggap kepulan asap di puncak Merapi sebagai ancaman. Meski demikian ia tetap meminta warga waspada.
Lelaki yang tak mau berbahasa Indonesia ini tak ingin menjawab secara tegas ketika pertanyaan mengarah kepada kemungkinan meletusnya Gunung Merapi pada 2006. Baginya, Allah belum memberi petunjuk berupa tanda-tanda akan meletusnya Merapi sehingga ia tak meminta warganya turun dan mengungsi.
Kenyataan ini sungguh berlawanan dengan pernyataan Sri Sultan HB X yang meminta warga di lereng gunung segera mengungsi. "Jika Sultan meminta warga turun, berarti itu yang bicara bukan Sultan, melainkan Gubernur," ujar Mbah Maridjan.
Ketika itu Mbah Marijan justru berharap Sultan dan pemerintah daerah mengizinkannya melakukan doa bersama memohon keselamatan agar Merapi tak 'marah'. Bagi Mbah Marijan, yang dimaksud doa bersama itu tidak mesti membuat acara besar seperti layaknya acara 'selamatan' di kampung-kampung dengan mengundang banyak orang.
"Cukup semua masyarakat bersama-sama berdoa, boleh dari rumahnya masing-masing, meminta kepada Allah agar Merapi tak jadi meletus," ujar Mbah Maridjan.
Sejak Senin (25/10), pemerintah menyatakan status 'Waspada Merapi'. Pemerintah pun mengungsikan para warga yang tinggal di sekitar gunung itu.
Namun Mbak Maridjan tetap bersikukuh tinggal di rumah. "Saya masih kerasan dan betah tinggal di sini. Kalau ditinggal, nanti siapa yang mengurus tempat ini," kata Mbah Maridjan.
Meski demikian, ia meminta warga menuruti imbauan pemerintah. "Saya minta warga untuk menuruti perintah. Mau mengungsi ya, monggo," kata dia.
Mbah Maridjan justru berpendapat, jika ia pergi mengungsi, dikhawatirkan warga akan salah menanggapi lalu panik. Mereka dikhawatirkan mengira kondisi Gunung Merapi sedemikian gawat.
"Sebaiknya kita berdoa supaya Merapi tidak batuk," kata dia.
Warga juga dihimbau memohon keselamatan pada Tuhan, agar tak terjadi hal yang tak diinginkan kalau nantinya Merapi benar-benar meletus.
Kapan Merapi meletus menurut Mbah Maridjan?
Mbah Maridjan mengaku tak tahu. Apalagi, ia tak punya alat canggih seperti yang dimiliki Badan Vulkanologi.
"Hanya Tuhan yang tahu kapan Merapi akan meletus. Saya tidak punya kuasa apa-apa," jawab dia.
Dan kini Merapi telah meletus. Membawa nyawa juru kunci yang selalu amanah menjaga. Selamat jalan, Mbah Maridjan....
*diambil dari : inilah.com